Showing posts with label Cerita keramat. Show all posts
Showing posts with label Cerita keramat. Show all posts

Misteri Alas Roban




Alas Roban, angker dan dikenal tempat pembuangan mayat

 Cerita misteri soal Alas Roban sudah terdengar sejak dulu. Alas Roban terletak di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Daerah ini sejak dulu terkenal angker.


Setiap pengendara yang ingin melintas jalan raya Alas Roban selalu merinding. Tidak hanya jalannya yang berkelok, tapi cerita-cerita mistis sudah kuat membekas.


Kawasan hutan jati di Plelen, Gringsing itu pernah dikenal sebagai tempat pembuangan mayat pada tahun 1980-an. Mayat-mayat itu adalah korban dari penembak misterius (Petrus). Semua korbannya dibuang ke Alas Roban.


Tidak hanya itu, daerah tersebut sudah sering terjadi puluhan kecelakaan lalu lintas. Sudah banyak yang meninggal di sana akibat kecelakaan. Lalu, muncul cerita-cerita mistis beredar di masyarakat. Ada yang pernah melihat kuntilanak, pocong sampai genderuwo.


Dulu, jika malam hari, sepanjang jalur Alas Roban memang gelap. Masih dikelilingi pohon-pohon jati. Jalannya pun tidak lurus, ada yang berkelok dan menanjak curam. Wajar, jika setiap pengendara melintasi jalan tersebut selalu was-was.


Jika menengok ke belakang, jalan raya Alas Roban hanya ada satu, yaitu jalan raya Poncowati. Jalan itu dibuat pada era pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-36. Dia memerintah antara tahun 1808 hingga 1811.


Sekarang, cerita itu sudah berubah. Sekarang sudah dibangun jalan baru. Ada jalur alternatif jika pengendara ingin menuju Semarang atau sebaliknya menuju Jakarta. Ada dua jalan tembus yang dibangun tahun 1990-an dan 2000-an.


Tidak hanya cerita angker saja, jalan raya Alas Roban pernah dikenal rawan tindak kejahatan. Jalur yang berliku dan panjang membuat pengendara takut melewati jalan tersebut sendiri jika malam hari.


Banyak penjahat mulai dari begal sampai bajing loncat. Saking rawannya, kendaraan yang melintas malam hari tidak berani. Untuk kendaraan yang datang dari arah timur Semarang berhenti di depan Pasar Plelen. Sementara dari arah barat Jakarta, istirahat di Banyuputih.


Mereka baru berani melintasi jalan Alas Roban ketika pukul 05.00 WIB. Kalau pun ada yang berani melintas malam hari, harus menunggu kendaraan lainnya. Minimal enam kendaraan.


Sekarang cerita angker dan rawan kejahatan secara perlahan mulai hilang di benak masyarakat. Jalan raya Alas Roban lambat laun mulai ramai baik mobil atau motor. Dan, di sekitar pinggir jalan kini juga sudah banyak orang menjajakan makanan.

Sumber : Merdeka.com

Gunung Hejo

 TAUFIK ILYAS/"PRLM"
PURWAKARTA, (PRLM).- Gunung Hejo yang melingkar di tol Cipularang menyimpan penuh misteri. Gunung yang dikelilingi perkebunan karet Perkebunan Nusantara VIII Gunung Hejo-Cikumpay oleh warga dan penziarah dijadikan tempat keramat.
Di sana, hampir tiap hari didatangi penziarah yang datang dari berbagai daerah tidak hanya pulau Jawa bahkan sampai datang dari Batam. Kuncen Gunung Hejo, Jaya Sukaya kepada "PRLM", mengatakan, Gunung Hejo yang berada di Desa Gunung Hejo, Kecamatan Darangdan, Purwakarta selama ini dijadikan tempat keramat oleh orang-orang.
Menurutnya, di Gunung Hejo itu tidak ada makam orang suci ataupun wali tapi di sana sebagai tempat Patilasan Kasuhunan Prabu Siliwangi. "Cerita orang tua dulu bahwa Prabu Siliwangi menjadikan Gunung Hejo sebagai tempat kompromi," katanya.
Ketika didesak pertanyaan, dengan siapa Prabu Siliwangi berkrompomi, apakah dengan makhluk gaib atau dengan pasukan apa ? Kuncen Gunung Hejo itu tidak bisa memberikan jawaban.
Di atas Gunung Hejo terdapat sebuah tempat yang dianggap keramat. Tempat ziarah yang selalu dikunjungi orang itu merupakan bangunan berbentuk makam. Namun menurut kuncen Jaya, bangunan itu sebenarnya bukan makam tapi tempat patilasan. "Bangunan mirip makam itu merupakan kebaikan dari orang Sumedang yang berhasil setelah berziarah ke sini," kata Jaya.
Tempat patilasan Prabu Siliwangi itu merupakan puser dayeuh berupa seonggok batu yang menutup lubang yang sangat dalam. Keangkeran Gunung Hejo yang dianggap sebagai sebuah mitos menjadi buah bibir masyarakat seiring dengan banyaknya terjadi kecelakaan di ruas tol Cipularang terutama Km 97-90 arah Bandung-Jakarta.
Jaya menambahkan, mitos Gunung Hejo yang dianggap angker dengan kerap meminta tumbal sebenarnya hanya ungkapan dari mulut ke mulut saja. Namun yang jelas, kata Jaya, di Gunung Hejo itu dulu menjadi tempat bernaung binatang monyet tapi sekarang sudah punah.

sumber : pikiran rakyat

Sumur Tujuh Sebagai Salah Satu Situs Petilasan Walisongo

Satu lagi objek wisata alam yang dimiliki oleh Kabupaten Kuningan yang memiliki nilai sejarah sangat tinggi pada jamannya maupun sampai sekarang, karena memang dalam perjalanan cerita asal muasal tempat ini mengisahkan sesuatu yang sangat istimewa dan lain dari yang lain.

Objek wisata yang dijadikan pula sebagai situs petilasan walisongo ini di dalamnya terdapat beberapa tempat berupa sumber-sumber air, tapi masyarakat atau pengelola disana menyebut tempat-tempat itu adalah Sumur, terdapat 7 sumur dengan nama-nama nya yang unik serta masing masing cerita yang mengisahkannya, ke tujuh sumur itu adalah Sumur Si Kajayaan, Sumur Gajah Putih, Sumur Gajah Barong, Sumur Cikahuripan, Sumur Cimulang, Cijalatunda dan Sumur Kumis.

Objek wisata Yang memang cukup terkenal di Wilayah III Cirebon Khusunya, dan Jawa Barat bahkan masyarakat diluar Jawa Barat pun banyak mengenal objek wisata Sumur Tujuh, hal ini dibuktikan dengan selalu banyaknya pengunjung dari dalam atau pun luar wilayah III Cirebon pada setiap minggu nya, bahkan menurut data kunjungan yang dimiliki oleh pengelola disana sempat beberapa wisatwan asing pun pernah mengunjungi tempat ini, ada yang tujuannya untuk observasi berkaitan dengan studi nya, atau pun sekedar berwisata,intensitas pengunjung yang datang cukup banyak , akan tampak  terutama pada malam Jumat Kliwon, yang fantastis ketika salah satu malam Jumat kliwon intensitas pengunjung bisa mencapai 500 sampai 700 pengunjung yang datang dari berbagai daerah, Cirebon, Indramayu, Majalengka, Ciamis, Bandung, Jakarta, Lampung, Brebes, bahkan dari Lamongan dan Surabaya pun pernah hadir disini untuk sekedar ingin menikmati suasana objek wisata yang masih begitu alami ataupun untuk berwisata sejarah juga berziarah.

Lokasi objek wisata Sumur Tujuh sendiri terletak di desa pasawan,Kecamatan Pesawahan, Kabupaten Kuningan dan berada berdekatan dengan rumah-rumah penduduk namun suasana nya cukup tenang dan tidak terganggu oleh aktivitas masyarakat secara langsung, Aksebilitas yang mudah dijangkau dari berbagai tempat menjadikan objek wisata ini menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk mengunjunginya, hanya sekitar 300 meter dari objek wisata Talaga Remis, dan 200 meter dari objek wisata Paniis-Singkup dan memang merupakan klaster wisata alam yang menjadi unggulan Kabupaten Kuningan.

Berburu Sabuk Sakti di Makam Mbah Malim

PADA zaman perang kemerdekaan, Mbah Malim yang saleh dan sakti, dianggap pahlawan bagi wong cilik di Jawa Barat umumnya, Bandung khususnya. Makamnya berada di Subang, Ciamis, Tasikmalaya. Makamnya kerap diziarahi karena dinilai keramat hingga sekarang. Pekan lalu Merapi berziarah ke sana, sembari menyimak kisah di balik kekeramatannya.

Kesaktian Mbah Malim terkenal di seantero Jawa Barat. Juga dikenal sebagai pribadi yang saleh. Setidaknya bisa direkam dalam ingatan Mbah Apek (62) dari leluhur setempat. Menurut cerita, kesaktian Mbah Malim kerap dipakai membantu para pejuang Jawa Barat. Juga untuk melindungi rakyat kecil. Satu contoh, Mbah Malim sering mencuri makanan dan senjata milik Kompeni lalu diberikan kepada pejuang dan rakyat.

Suatu kali Mbah Malim tertangkap Belanda. Karena dianggap berbahaya, lalu dijatuhi hukuman gantung dialun-alun Tegalega Bandung Utara. Lebih lagi karena terbukti mencuri dan melindungi tentara Indonesia.

Tapi sebelum Subuh saat hari eksekusi datang, Mbah Malim raib dari selnya di Penjara Banceuy. Sipir penjara njenggirat, kepala penjara njondhil. Pasalnya, ketika sel penjara diperiksa, ternyata pintu sel dan pintu-pintu lainnya masih dalam keadaan terkunci. Penjagaan yang dilakukan serdadu Belanda pun amat ketat-tat.

Dari cerita, Mbah Malim melarikan diri ke Gunung Patoha terletak di Bandung selatan. Menurut Mbah Apek, kesaktian Mbah Malim terletak pada jimat sabuk terbuat dari kain kafan.

Makam Mbah Malim pun sekarang berada di kaki Gunung Patoha. Tidak mudah untuk mencapai tempat kearmat itu. Hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua. Sesekali harus dituntun karena hanya melewati jalan setapak yang banyak dilalui para peziarah untuk mendapatkan sabuk kesaktian.

Tak sedikit yang menginap di tempat keramat itu sampi berhari-hari. Bahkan berminggu-minggu. Sebab sebelum meninggal sabuk Mbah Malim ditali pada sebatang pohon. Ketika Mbah Malim meninggal sabuk tersebut juga hilang.

Menurut Mbah Apek, yang tak mau disebut jurukunci ini, diperkirakan sabuk itu masuk dan ada dalam pohon yang sekarang tumbuh tegak di utara makam.

�Pernah pohon ini ditebang oleh 4 orang dan saya hendak dibayar 5 juta. Saya bilang silakan saja kalau mau tebang. Tapi begitu mau roboh pohon ini tegak lagi. Dan satu diantara penebang itu meninggal disini karena digigit ular, entah dari mana ular itu datang,� kata Mbah Apek.

Sejak itu tidak ada yang berani lagi untuk menebangnya. Sementara orang yang menginginkan sabuk Mbah Malim hanya semedi dan melakukan ritual disekitar makam. Didalam makam Mbah Malim juga para peziarah tidak diperbolehkan bertindak yang neko-neko. Bicara saja tidak boleh. Jadi hanya untuk semedi dan melakukan ritual.

Tidur juga boleh, bahkan sudah disediakan padepokan untuk para orang yang hendak berburu sabuk sakti milik Mbah Malim.

Tapi menurut Mbah Apek, jarang orang yang dapat sabuk seperti yang diinginkan. Mereka paling hanya mendapatkan cincin akik berwarna ungu gelap.

�Tapi tidak semua mendapatkannya. Yang banyak memang sering mendapatkan cincin. Itupun melalui ujian yang berat,� tambah Mbah Apek.

Pernah ada pemuda Cicalengka mendapatkannya pada 1988, tapi Mbah Apek sendiri tidak berani memastikan apakah itu sabuk asli milik Mbah Malim atau bukan. Padahal pemburu sabuk sakti itu bukan hanya dari sekitar Bandung saja.

Dari Surabaya, Malang, Banten, dan Lampung juga ikut bersaing ingin mendapatkan sabuk sakti milik Mbah Malim. Mbah Apek juga sering memperingatkan pada para pemburu sabuk sakti sebelum melakukan ritual agar berhati-hati dan menjaga sikap. Seandainya belum siap mending tidak usah, kalau tidak kuat ujian bakal berbahaya risiko yang bakal diterimanya.

Seperti peristiwa satu bulan yang lalu. Seorang pemuda asal Lembang yang mencoba berburu sabuk Mbah Malim ini. Karena belum punya mental cukup, saat malam sedang semedi ia didatangi harimau putih dengan sorot mata merah, dia nggenjrit lari keluar makam. Dan kabar terakhir sekarang pemuda tersebut mengalami sedikit gangguan jiwa. Orang tua pemuda itu kerap datang meminta maaf pada Mbah Malim. Padahal menurut Mbah Apek harimau yang duduk di atas makam Mbah Malim, tidaklah jahat.(pipin/mol)

Sumber : pos metro balikpapan


Posted via Blogaway

BAJULGILING: Ajimat Sakti Milik Jaka Tingkir (oleh: Mawan Suganda)




Komplek-Makam-Jaka-Tingkir


Menurut Babad Jawi dan Babad Sengkala, timang atau kepala ikat pinggang Kyai Bajulgiling adalah timang sakti milik Kyai Buyut dari Banyubiru yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Timang Kyai Bajulgiling’bersama ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit buaya itu diberikan Kyai Buyut dari Banyubiru kepada Jaka Tingkir sebagai piandel dalam pengabdiannya ke Kerajaan Demak Bintoro yang kemungkinan akan mengalami banyak hambatan, baik selama di perjalanan maupun setelah berada di Demak Bintaro.
Diceritakan dalam Babad Pengging, konon Timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Kyai Banyubiru dibuat menjadi dua pusaka. Satu berbentuk sebilah keris luk tujuh yang dikenal dengan nama Kyai Jalakpupon dan satunya lagi berbentuk timang (kepala ikat pinggang) yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Bajulgiling, karena bentuk mata timang yang seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup tapi kedua matanya terbuka lebar.
Kekuatan gaib yang dimiliki oleh Timang Kyai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Timang Kyai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti bijih baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut. Kemudian kekuatan ikat pinggang ber-Timang Kyai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir.
Mengenai hal ini Babad Tanah Jawi menceritkan sebagai berikut:
Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia, yang tentunya sebuah negeri kecil yang berdiri sendiri. Di sana terdapat beberapa benda kuno dari zaman Hindu, juga sebuah makam keramat yang dinyatakan sebagai tempat peristirahatan ayah Jaka Tingkir yang bernama Kebo Kenanga alias Andayaningrat. Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukkan wayang Beber (juga dinamakan wayang Karebet), maka ia pun dinamakan Mas Karebet.
Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging, namun di Tingkir, sebab Sunan Kudus, raja pendeta diplomat jendral Demak, telah membunuh ayahnya karena pembangkangan, dan tidak lama setelah itu ibunya pun meninggal. Keluarganya kemudian membawanya ke Tingkir, dan disana ia diasuh oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya. Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir.
Mengikuti saran Ki Ageng Selo, gurunya dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir pergi ke Demak untuk bekerja mengabdikan diri pada Sultan Demak, dan melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan diapun dijadikan sebagai kepala.
Beberapa waktu kemudian satuan itu menuntut perluasan. Seorang calon yang tak berwajah tampan (buruk rupa), bersikap tidak menyenangkan bagi panglima muda ini. Karenanya calon itu tidak diuji seperti bisa, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan. Dan hanya dengan sebuah tusuk konde Jaka Tingkir mampu menembus jantungnya. Alangkah hebat kesaktiannya. Tapi seketika itu juga, hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang.
Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja.
Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah di malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kyai Buyut dari Banyubiru  yang selanjutnya menjadi gurunya. Demikianlah Kyai ini memberikan kepadanya azimat agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan. Azimat pemberian Kyai Buyut dari Banyubiru itu berupa sebuah ikat pinggang dengan timang yang matanya berwujud buaya, yang diyakini sebagai Timang Kyai Bajulgiling.
Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari Timang ikat pinggang pemberian Kyai Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge.
Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kyai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.
Di wilayah Demak azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru diterapkannya kembali. Seekor lembu liar dibuatnya menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para tamtama pun tidak dapat menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Setelah itu ia mendapatkan kembali kedudukannya yang lama.
Beberapa waktu kemudian ia menikah dengan putri ke -5 Raja (Sultan Trenggono) dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bahu. Tiga tahun ia harus menghadap ke Demak, tetapi negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana….
Demikianlah sekilah kisah tentang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, gelar setelah menjadi Raja di Pajang. Setelah dia wafat, lalu dimanakah keberadaan ikat pinggang dan Timang Kyai Bajulgiling azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru itu? Sebab setelah meninggalnya Jaka Tingkir, tak satu pun dari anak, menantu dan kerabat dekat Sultan Hadiwijaya seperti Pangeran Benowo, Pangeran Pangiri dan juga Sutawijaya atau Senopati pernah menyimpan Timang Kyai Bajulgiling? Demikian juga halnya dengan dua sahabat dekatnya dari Pengging, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu.
Menurut cerita, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling itu tertinggal di depan makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat (masuk wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah), lupa terbawa oleh Sultan Hadiwijaya yang mengakibatkan ia terjatuh dari gajah yang dinaikinya dalam perjalanan pulang dari Tembayat ke Pajang.
Seperti diceritakan dalam Serat Kanda. Kedatangan iparnya Tumenggung Mayang memberi kesempatan kepada Senopati untuk mendapat pengikut lebih banyak lagi dari Pajang. Fakta-fakta ini pada suatu hari dalam persidangan agung di Pajang disodorkan oleh para menantu raja (Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak) kepada raja agar diperhatikan karena mereka berpendapat perlu segera menggempur Mataram. Meskipun sadar akan jatuhnya Pajang nanti, Sultan tidak bisa bertahan atas desakan itu, dan memerintahkan untuk mengangkat senjata. Para tumenggung menyatakan bersedia, asalkan Sultan turut serta, meskipun berada di belakang barisan.
Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.
Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan. Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.
Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura melarikan diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba diserang oleh pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap malam menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu pertahanan masing-masing.
Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak. Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam hal ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.
Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari gajahnya dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.
Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.
Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.
Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat, harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.
Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat pinggang sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan benda keramat dari alam gaib itu.
Saat Misteri berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran, seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan gambaran gaib mengenai benda ini.
”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya. Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit mendapatkan pusaka sakti ini,” ungkap Mbah Diran, yang setia menemani perjalanan Misteri.
Sumber :  Majalah Misteri edisi 518 05 Juli – 19 Juli 2011

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
animasi bergerak gif
animasi bergerak gif

 
bantulah kami agar tetap eksis mengembangkan ilmu metafisika untuk semua orang