Komplek-Makam-Jaka-Tingkir
Menurut Babad Jawi dan Babad Sengkala, timang atau kepala ikat pinggang Kyai Bajulgiling adalah timang sakti milik Kyai Buyut dari Banyubiru yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Timang Kyai Bajulgiling’bersama ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit buaya itu diberikan Kyai Buyut dari Banyubiru kepada Jaka Tingkir sebagai piandel dalam pengabdiannya ke Kerajaan Demak Bintoro yang kemungkinan akan mengalami banyak hambatan, baik selama di perjalanan maupun setelah berada di Demak Bintaro.
Diceritakan dalam Babad Pengging, konon Timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Kyai Banyubiru dibuat menjadi dua pusaka. Satu berbentuk sebilah keris luk tujuh yang dikenal dengan nama Kyai Jalakpupon dan satunya lagi berbentuk timang (kepala ikat pinggang) yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Bajulgiling, karena bentuk mata timang yang seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup tapi kedua matanya terbuka lebar.
Kekuatan gaib yang dimiliki oleh Timang Kyai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Timang Kyai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti bijih baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut. Kemudian kekuatan ikat pinggang ber-Timang Kyai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir.
Mengenai hal ini Babad Tanah Jawi menceritkan sebagai berikut:
Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia, yang tentunya sebuah negeri kecil yang berdiri sendiri. Di sana terdapat beberapa benda kuno dari zaman Hindu, juga sebuah makam keramat yang dinyatakan sebagai tempat peristirahatan ayah Jaka Tingkir yang bernama Kebo Kenanga alias Andayaningrat. Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukkan wayang Beber (juga dinamakan wayang Karebet), maka ia pun dinamakan Mas Karebet.
Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging, namun di Tingkir, sebab Sunan Kudus, raja pendeta diplomat jendral Demak, telah membunuh ayahnya karena pembangkangan, dan tidak lama setelah itu ibunya pun meninggal. Keluarganya kemudian membawanya ke Tingkir, dan disana ia diasuh oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya. Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir.
Mengikuti saran Ki Ageng Selo, gurunya dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir pergi ke Demak untuk bekerja mengabdikan diri pada Sultan Demak, dan melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan diapun dijadikan sebagai kepala.
Beberapa waktu kemudian satuan itu menuntut perluasan. Seorang calon yang tak berwajah tampan (buruk rupa), bersikap tidak menyenangkan bagi panglima muda ini. Karenanya calon itu tidak diuji seperti bisa, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan. Dan hanya dengan sebuah tusuk konde Jaka Tingkir mampu menembus jantungnya. Alangkah hebat kesaktiannya. Tapi seketika itu juga, hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang.
Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja.
Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah di malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kyai Buyut dari Banyubiru yang selanjutnya menjadi gurunya. Demikianlah Kyai ini memberikan kepadanya azimat agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan. Azimat pemberian Kyai Buyut dari Banyubiru itu berupa sebuah ikat pinggang dengan timang yang matanya berwujud buaya, yang diyakini sebagai Timang Kyai Bajulgiling.
Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari Timang ikat pinggang pemberian Kyai Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge.
Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kyai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.
Di wilayah Demak azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru diterapkannya kembali. Seekor lembu liar dibuatnya menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para tamtama pun tidak dapat menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Setelah itu ia mendapatkan kembali kedudukannya yang lama.
Beberapa waktu kemudian ia menikah dengan putri ke -5 Raja (Sultan Trenggono) dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bahu. Tiga tahun ia harus menghadap ke Demak, tetapi negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana….
Demikianlah sekilah kisah tentang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, gelar setelah menjadi Raja di Pajang. Setelah dia wafat, lalu dimanakah keberadaan ikat pinggang dan Timang Kyai Bajulgiling azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru itu? Sebab setelah meninggalnya Jaka Tingkir, tak satu pun dari anak, menantu dan kerabat dekat Sultan Hadiwijaya seperti Pangeran Benowo, Pangeran Pangiri dan juga Sutawijaya atau Senopati pernah menyimpan Timang Kyai Bajulgiling? Demikian juga halnya dengan dua sahabat dekatnya dari Pengging, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu.
Menurut cerita, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling itu tertinggal di depan makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat (masuk wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah), lupa terbawa oleh Sultan Hadiwijaya yang mengakibatkan ia terjatuh dari gajah yang dinaikinya dalam perjalanan pulang dari Tembayat ke Pajang.
Seperti diceritakan dalam Serat Kanda. Kedatangan iparnya Tumenggung Mayang memberi kesempatan kepada Senopati untuk mendapat pengikut lebih banyak lagi dari Pajang. Fakta-fakta ini pada suatu hari dalam persidangan agung di Pajang disodorkan oleh para menantu raja (Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak) kepada raja agar diperhatikan karena mereka berpendapat perlu segera menggempur Mataram. Meskipun sadar akan jatuhnya Pajang nanti, Sultan tidak bisa bertahan atas desakan itu, dan memerintahkan untuk mengangkat senjata. Para tumenggung menyatakan bersedia, asalkan Sultan turut serta, meskipun berada di belakang barisan.
Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.
Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan. Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.
Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura melarikan diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba diserang oleh pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap malam menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu pertahanan masing-masing.
Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak. Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam hal ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.
Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari gajahnya dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.
Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.
Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.
Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat, harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.
Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat pinggang sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan benda keramat dari alam gaib itu.
Saat Misteri berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran, seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan gambaran gaib mengenai benda ini.
”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya. Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit mendapatkan pusaka sakti ini,” ungkap Mbah Diran, yang setia menemani perjalanan Misteri.
Sumber : Majalah Misteri edisi 518 05 Juli – 19 Juli 2011